Selasa, 24 Mei 2011

Sinar-X 3D Membangun Bagan Evolusi Penerbangan pada Burung

Alat pemindaian sinar-X tiga dimensi digunakan untuk membantu membangun bagan evolusi penerbangan pada burung, secara digital merekonstruksi ukuran otak burung dengan menggunakan fosil purba dan tengkorak burung modern.
Dalam sebuah proyek kolaborasi antara Museum Nasional Skotlandia, Universitas Dundee Abertay, dan Universitas Lethbridge, Kanada, para peneliti menggunakan pemindai CT yang sangat sensitif (computerized tomography) di Abertay untuk menganalisa keseluruhan dan fragmen tengkorak fosil dan menciptakan model 3D otak burung yang punah dengan akurat.
Tempurung burung bertumbuh hingga ukuran yang tetap sebelum mereka meninggalkan sarang, dengan otak kemudian bertumbuh hampir sepenuhnya mengisi ruang rongga. Artinya, tempurung burung bisa digunakan untuk menghitung secara akurat ukuran dan bentuk otaknya.
Tempurung raven (Corvus corax) menunjukkan rekontruksi otak. (Kredit: Musium Nasional Skotlandia/Universitas Abertay Dundee)
Dengan mengerjakan ini, ukuran bagian otak, yang disebut flocculus, bisa dibangun. Bagian kecil dari otak kecil ini bertanggung jawab mengintegrasikan sinyal visual dan keseimbangan selama penerbangan, yang memungkinkan burung fokus pada objek bergerak dalam tiga dimensi selagi mereka terbang.
Dr. Stig Walsh, pemimpin proyek dan Kurator Senior Palaeobiologi Vertebrata di Museum Nasional Skotlandia, mengatakan: “Dengan memetakan ukuran relatif bagian otak burung, kami yakin bisa menemukan bagaimana flocculus telah berkembang untuk berurusan dengan kemampuan terbang yang berbeda, memberi kita informasi baru tentang saat burung pertama kali mengembangkan kekuatan penerbangannya.”
Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah apakah flocculus yang lebih besar terkait secara langsung dengan kemampuan yang lebih baik untuk memproses sinyal visual dan keseimbangan selama penerbangan. Jika terbukti, ini bisa menandai langkah besar ke depan dalam memahami evolusi burung, dan mungkin menjelaskan apakah beberapa dinosaurus yang sangat mirip burung benar-benar dinosaurus atau sebenarnya burung terbang sekunder.
Dia menambahkan: “Penelitian ini hanya baru-baru ini dimungkinkan melalui kemajuan pemindai CT-mikro sinar-X. Tidak seperti pemindai medis, yang mengambil serangkaian gambar irisan melalui sebuah objek hingga 1,5 milimeter secara terpisah, pemindai 3D di Universitas Abertay mampu secara akurat hingga 6 mikron.
“Dengan menggunakan peralatan yang canggih ini dan sekitar 100 spesies modern yang berbeda kami mulai memahami lebih banyak, banyak lagi tentang evolusi penerbangan.”
Proyek ini juga melihat beberapa fosil paling langka di dunia – termasuk dua tengkorak burung laut terbang dari Periode Cretaceous sekitar 100 juta tahun yang lalu.
Apa yang membuat fosil itu begitu jarang adalah karena mereka tersimpan dalam tiga dimensi di tanah liat yang lunak, tidak diratakan oleh tekanan bumi di atasnya seperti kebanyakan fosil burung.
Patsy Dello Sterpaio, peneliti proyek gabungan di Universitas Abertay, mengatakan: “Ini adalah proyek yang sangat menarik, yang sangat memanfaatkan pemindai CT-mikro berkekuatan tinggi milik Abertay. Kami berharap proyek gabungan ini bisa menghasilkan tidak hanya gambar yang luar biasa, tetapi juga membantu menjawab beberapa pertanyaan penting yang belum terselesaikan tentang evolusi penerbangan.”
Dr. Wilfred Otten, pemimpin fasilitas pemindaian CT Sinar-X di Universitas Abertay, menambahkan: “Fasilitas CT di Universitas Abertay merupakan bagian dari Pusat SIMBIOS untuk memahami masalah-masalah ekologi dan lingkungan kompleks, yang memiliki tim mengesankan yang eksperimentalis berpengalaman dan sukses serta pemodel yang mendukung kegiatan tersebut.
“Membangun dari keahlian kami dalam ilmu lingkungan dan tanah, kami dapat menawarkan keahlian tak tertandingi dalam menangkap dan mengukur struktur interior dari berbagai material.”
Analisis komputer digital merekonstruksi bentuk dan ukuran tengkorak, serta menciptakan model otak ‘virtual’ 3D dari rongga dalam tengkorak yang menampung otak dalam kehidupannya.
Proyek ini juga melihat burung yang tidak bisa terbang seperti burung dodo, untuk melihat apakah flocculus-nya telah menjadi lebih kecil dengan hilangnya penerbangan. Para peneliti yakin bahwa kekuatan otak yang diperlukan untuk penerbangan pada spesies tersebut mungkin telah menjadi berkurang.
Proyek tersebut dijadwalkan untuk dijalankan hingga awal tahun 2012.

Efek Mematikan Radiasi CT Scan Pada Anak

Penelitian terbaru mengungkap dampak negatif sinar X atau CT Scan pada anak-anak. Ternyata radiasi alat-alat tersebut dalam waktu lama bisa meningkatkan risiko terserang penyakit leukemia.
Sebenarnya telah lama timbul kekhawatiran pada masyarakat akan efek negatif radiasi elektromagnetik terhadap kesehatan, terutama bagi anak-anak. Yang terbaru, para peneliti melaporkan bahwa paparan terhadap tiga kali atau lebih sinar X di masa kanak-kanak akan meningkatkan kemungkinan seorang anak menderita penyakit leukemia sebanyak dua kali lipat, meskipun risiko secara keseluruhan masih kecil.

Namun, peneliti tidak menyerukan agar si kecil menghindari sama sekali paparan sinar X. Karena metode ini penting untuk pengobatan penyakit lain, seperti radang paru (pneumonia) dan patah tulang. Mereka juga tidak membuktikan secara definitif bahwa sinar X langsung meningkatkan risiko leukemia.

Anak-anak dan remaja yang menjalani tes diagnostik sama saja mengekspos diri mereka terhadap radiasi. Padahal, radiasi ini dapat meningkatkan risiko kanker di kemudian hari.

"Hanya dalam rentang tiga tahun, 42,5 persen anak-anak mendapatkan beberapa paparan radiasi ionisasi dari prosedur medis diagnostik," kata Dr. Adam Dorfman, kardiolog pediatrik di University of Michigan di Ann Arbor, dalam studinya yang terbit di Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine.

Penelitian ini adalah yang pertama yang mengamati paparan radiasi di kalangan anak-anak dan remaja, yang memiliki risiko kanker jangka panjang terbesar dari paparan dini dan berulang terhadap radiasi.

Dalam studinya, tim Dorfman mempelajari data klaim kesehatan lebih dari 355.000 anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun yang dijamin oleh UnitedHealth Group, sebuah perusahaan asuransi kesehatan AS.

Mereka menelaah berbagai tes diagnostik mulai dari yang sederhana seperti sinar-X hingga tes yang lebih maju seperti tomografi terkomputasi (CT scan), yang menghasilkan gambar penampang tubuh tetapi menghasilkan radiasi yang jauh lebih tinggi.

Sebuah pemeriksaan dengan CT scan pada dada menghasilkan radiasi lebih dari 100 kali lebih tinggi dari radiasi sinar-X.

"Hampir delapan persen (7,9 persen) anak-anak dan remaja menjalani setidaknya satu kali CT scan, dan 3,5 persen mendapat setidaknya dua CT scan dalam tiga tahun," kata Dorfman seraya menambahkan bahwa CT scan kepala merupakan tes diagnostik yang paling umum.

Pada anak-anak, risiko terbesar dari paparan radiasi ini adalah kanker, meski hampir setiap sistem dalam tubuh terkena, kata Dorfman.

Pada November lalu, FDA telah meminta beberapa pembuat peralatan CT - yang meliputi General Electric, Toshiba Corp, Hitachi Ltd, Siemens dan Philips - untuk menambahkan fitur keamanan untuk mesin CT mereka.

Sudah banyak perusahaan yang memberikan fitur-fitur khusus untuk membantu mengurangi dosis radiasi scan yang melibatkan anak-anak.

Para ilmuwan itu hanya menyarankan agar dokter tidak merekomendasikan penggunaan sinar X jika tidak benar-benar diperlukan atau malah melakukan tindakan pencegahan khusus melalui penggunaan CT scan. Karena alat yang satu ini lebih berpotensi memberikan paparan radiasi berbahaya untuk tubuh.

Penulis pendamping studi ini yang juga seorang ahli epidemiologi Patricia Buffler menyebut temuan ini sebagai “peringatan yang sangat serius”. “Menghilangkan atau mengurangi paparan (radiasi) yang tidak perlu adalah penting,” kata Buffler, seorang profesor di University of California, Berkeley School of Public Health, Amerika Serikat.

Meskipun begitu, dia mengakui, “Beberapa jenis paparan radiasi sangat penting untuk membuat diagnosis yang akurat,” lanjut Buffler seperti diberitakan dari laman healthday.com. Leukemia (kanker darah) adalah suatu jenis kanker yang menyerang sumsum tulang dan darah.

Sumsum tulang (bone marrow) ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah, di antaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen ke dalam tubuh), dan platelet (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).

Leukemia umumnya muncul pada diri seseorang sejak di masa kecilnya. Sumsum tulang tanpa diketahui dengan jelas penyebabnya telah memproduksi sel darah putih yang berkembang tidak normal atau abnormal. Normalnya, sel darah putih mereproduksi ulang bila tubuh memerlukannya atau ada tempat bagi sel darah itu sendiri. Tubuh manusia akan memberikan tanda atau sinyal secara teratur kapankah sel darah diharapkan bereproduksi kembali.

Pada kasus leukemia, sel darah putih tidak merespons kepada sinyal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol (abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya. Seseorang dengan kondisi seperti ini akan menunjukkan beberapa gejala seperti mudah terkena penyakit infeksi, anemia, dan perdarahan.

Menurut perkumpulan Leukemia & Lymphoma Society, penyakit ini menyerang sekitar 3.317 anak-anak sejak lahir sampai usia 14 tahun di Amerika Serikat setiap tahunnya. Salah satu jenis penyakit ini yaitu leukemia limfoid akut, adalah tipe yang paling sering diderita dari kanker di kalangan anak-anak berusia 1 sampai 7 tahun.

Para dokter umumnya dapat mengobati leukemia ini hingga sembuh, tetapi banyak juga yang memiliki potensi untuk mematikan.
Dalam studi terbaru ini, para peneliti mengamati catatan medis dari 711 orang anak sampai usia 14 tahun yang didiagnosis menderita leukemia limfoid akut di California pada 1995–2008. Peneliti membandingkan hasilnya dengan anak-anak seusianya yang tidak leukemia.

Hasil penemuan ini diterbitkan dalam edisi online pada 1 Oktober jurnal International Journal of Epidemiology.
Para peneliti mengecualikan paparan sinar X pada tahun sebelum diagnosis dan sebelum kelahiran. Mereka menemukan bahwa risiko seorang anak akan meningkat sekitar 1,85 kali lebih tinggi mengidap leukemia jika mereka telah terpapar sebanyak tiga kali atau lebih radiasi sinar X.

Dalam bagian terpisah dari penelitian ini, para peneliti mengamati anak-anak dengan leukemia myeloid akut, tapi tidak menemukan hubungan antara jenis leukemia dan paparan sinar X.
Gambaran besarnya, peningkatan risiko menderita leukemia akibat paparan radiasi, tidak serta-merta meningkatkan jumlah penderita leukemia pada anak-anak secara keseluruhan.

Secara umum, sekitar 4 dari setiap 100.000 anak-anak telah menderita jenis leukemia khusus tersebut. Menutur Buffler, jika paparan sinar X akan meningkatkan risiko menjadi dua kali lipat menderita leukemia, maka jumlah penderitanya akan menjadi 8 anak dari setiap 100.000 anak-anak.

Hasil ini tentu saja mengejutkan, di mana menjawab asumsi sebelumnya tentang keamanan sinar X. “Kita bicara tentang rutinnya kita mendapatkan diagnostik penyakit melalui sinar X,” kata Buffler. Mengapa sinar X begitu berisiko? Dia menjelaskan, penelitian menunjukkan bahwa jenis radiasi yang ditemukan di sinar X dapat menyebabkan sel dalam tubuh bermutasi dan menyebabkan kanker.

Dan CT scan, kata Buffler, yang terus populer dalam beberapa tahun terakhir, bahkan membuat radiasi lebih banyak dibanding sinar X yang biasa. “Penelitian selanjutnya akan melihat efek dari CT scan terhadap tingkat keparahan leukemia,” tambahnya. Menurut Dr Anna Meadows, seorang ahli onkologi di Rumah Sakit Anak Philadelphia yang juga seorang profesor pediatri di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, temuan studi ini masuk akal. (fn/mtv/ok) www.suaramedia.com